Sejarah Bagan Siapi-Api

Sejarah Bagan Siapi-Api
Menelusuri sejarah kota Bagansiapiapi erat kaitannya dan tidak terlepas dari sejarah Rokan Hilir.
Di daerah Rokan Hilir terdapat tiga wilayah kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang Kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah Tanah Putih pada tahun 1890[3].
Berdasarkan Staatsblad 1894 No.94, onderafdeeling Bagansiapiapi dengan ibukota Bagansiapiapi, termasuk dalam afdeeling Bengkalis, Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari tiga subdistrik yakni Bangko, Kubu, dan Tanah Putih[4]. Setelah Bagansiapiapi yang dipercaya dibuka oleh pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan (kantor Controleur) ke kota ini dari Tanah Putih pada tahun 1900[5]. Bagansiapiapi semakin berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan modern dan terlengkap untuk mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat Malaka hingga Perang Dunia I usai.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalam Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan UU RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara[6].
Namun karena kondisi infrastruktur di Ujung Tanjung yang masih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tanah Putih belum memungkinkan untuk dijadikan sebagai sebuah ibu kota kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang sah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999 disahkan sebagai Undang-Undang dalam Rapat Paripurna[7][8].

Asal Usul Nama Bagansiapiapi

Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand kelak menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi[9].
Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa pelarian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.
Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (si api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.
Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai[10].

Kota Nelayan Dan Galangan Kapal


Pelabuhan Bagansiapiapi pada masa Hindia Belanda
Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Menurut beberapa sumber, di antaranya surat kabar De Indische Mercuur menulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia[11][12].
Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran[13][14]. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya)[15][16].
Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton[17]. Ekspor hasil laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi menduduki papan atas daerah-daerah penghasil ikan terbesar di dunia.
Pada tahun 1980-an, buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah-sekolah dasar masih mencantumkan bahwa salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di Indonesia adalah Bagansiapiapi[18], yang pada saat itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkalis.
Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai Rokan.
Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar pada angka 70.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an saja[19].
Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan[20]. Perahu buatan Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, karyanya diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.
Perahu produk Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Di masa jayanya, nama kota Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi Riau[21].
Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan bahan baku kayu dan sederetan Undang-Undang Tentang Kehutanan. Dalam UU itu disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kuasa penuh dalam menentukan pembagian kawasan hutan. Dampaknya, para pencari kayu yang selama ini didominasi penduduk lokal, tidak lagi bisa menebang kayu untuk menjualnya ke pengusaha galangan kapal.

Komunitas Tionghoa


Bekas peninggalan rumah Kapitan Bagansiapiapi
Bagansiapiapi memiliki komunitas Tionghoa yang besar. Terdapat beberapa versi sejarah kedatangan pertama orang Tionghoa di Bagansiapiapi.
Menurut P.N. van Kampen, orang Tionghoa sudah ada di Bagansiapiapi sejak tahun 1860[22]. Versi lain mengenai kedatangan awal orang Tionghoa ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875[23] saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi dari Songkhla, Thailand yang dipimpin Si Bajak Laut Tua Kakek Wang[24][25]. Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, mereka memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan.
Menurut sumber lain yang layak dipercaya menyebutkan bahwa jauh pada masa Kaisar Tongzhi (1862-1874), yaitu pada zaman Dinasti Qing, Hong Shifan dan 10 kawannya dari Distrik Tong'an , Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan, datang ke kota itu dan mengembangkan usaha perikanan di sana. Menurut hasil cacah jiwa pada 1930, dari 9.811 orang Tionghoa yang bekerja di sektor perikanan di seluruh Hindia Belanda, 54,7 % berada di Sumatera Timur (terutama di Bagansiapiapi). Menurut statistik lainnya tahun 1928, sebagian terbesar dari 400 lebih usaha penangkaran ikan di pelabuhan itu milik orang Tionghoa[26].
Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.
Eksistensi komunitas Tionghoa yang kuat di Bagansiapiapi dapat dilihat dari banyaknya kelenteng yang berdiri. Di samping itu, terdapat berbagai perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing-masing, di mana dari perkumpulan-perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.
Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong/Yayasan Sosial Marga Sad Eka (六桂堂), Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong/Yayasan Samvara Dharma Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong (陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan Marga Coa Cei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho/Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li, Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.

Geografi

Secara geografis, Bagansiapiapi terletak di Pulau Sumatera pada titik koordinat 2,1578° Lintang Utara (2° 9' 28.08" N) dan 100,8163° Bujur Timur (100° 48' 58.68" E)[27].
Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan yang berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional yang ramai.
Batas-batas wilayah Bagansiapiapi sebagai berikut :
Bagansiapiapi termasuk beriklim tropis, dengan jumlah curah hujan 2.710 mm/tahun[28] dan temperatur udaranya berkisar pada 24º-32 °C. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari s/d bulan Agustus. Sementara musim hujan terjadi pada bulan September s/d Januari.